• Akademi Plato
Plato (428-347 SM) berusia dua puluh sembilan tahun ketika Socrates minum racun cemara. Dia telah menjadi murid Socrates selama beberapa waktu dan telah mengikuti pengadilannya dengan cermat. Kenyataan bahwa Athena dapat menghukum mati warga negaranya yang paling mulia menimbulkan lebih dari sekadar kesan mendalam terhadapnya. Hal itu menciptakan jalan bagi seluruh upaya filosofisnya.
Bagi Plato, kematian Socrates merupakan contoh mencolok dari konflik yang dapat timbul antara masyarakat sebagaimana adanya dan masyarakat sejati atau ideal. Tindakan Plato yang pertama sebagai seorang filosof adalah me¬ nerbitkan karya Socrates, Apologi , suatu penjelasan tentang pembelaannya di hadapan juri.
Seperti yang pasti kamu ingat, Socrates tidak pernah menuliskan apa pun, meski banyak orang sebelum Socrates melakukannya. Masalahnya adalah hampir tidak ada lagi materi tertulis yang tertinggal. Namun dalam kasus Plato, kita yakin bahwa seluruh karya utamanya telah dilestarikan. (Di samping karya Socrates Apologi, Plato menulis kumpulan Epistles dan kira-kira dua puluh lima Dialog filsafat.) Kita bisa mendapatkan karya-karya ini sekarang berkat tindakan Plato mendirikan sekolah filsafatnya sendiri di sebuah hutan kecil tidak jauh dari Athena, yang dinamai sesuai dengan nama pahlawan legendaris Yunani, Academus. Karenanya, sekolah itu dikenal sebagai Akademi. (Sejak itu, ribuan "akademi" didirikan di seluruh dunia.) Subjek-subjek yang diajarkan di Akademi Plato adalah filsafat, matematika, dan olahraga—meskipun barangkali "diajarkan" bukanlah kata yang tepat. Diskusi yang hidup dianggap paling penting di Akademi Plato. Maka, bukan kebetulan kalau tulisan-tulisan Plato mengambil bentuk dialog.
• Kebenaran Abadi, Keindahan Abadi, Kebaikan Abadi
Dalam kata pengantar untuk pelajaran ini, aku katakan bahwa mempertanyakan proyek utama seorang filosof merupakan suatu gagasan yang bagus. Maka kini aku bertanya: apakah masalah yang dipikirkan Plato? Secara ringkas, kita dapat memastikan bahwa Plato memikirkan hubungan antara yang kekal dan abadi, di satu pihak, dan yang "berubah", di pihak lain. (Persis seperti pada masa sebelum Socrates, sebenarnya.) Kita telah mengetahui bagaimana kaum Sophis dan Socrates mengalihkan perhatian mereka dari filsafat alam kepada masalah-masalah yang berkaitan dengan manusia dan masyarakat. Dan, toh dalam satu pengertian, bahkan Socrates dan kaum Sophis disibukkan dengan hubungan antara yang kekal dan abadi, dan yang "mengalir". Mereka tertarik pada masalah tersebut karena hal itu berkaitan dengan moral manusia dan cita-cita atau sifat baik masyarakat. Secara sangat ringkas, para Sophis beranggapan bahwa persepsi mengenai apa yang benar atau salah beragam dari satu negara-kota ke negara-kota lain, dan dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Jadi benar dan salah adalah sesuatu yang "mengalir".
Ini sama sekali tidak dapat diterima oleh Socrates. Dia percaya akan adanya aturan-aturan yang abadi dan mutlak tentang apa yang benar atau salah. Dengan menggunakan akal sehat, kita semua dapat sampai pada norma-norma abadi ini, karena akal manusia sesungguhnya kekal dan abadi. Dapatkah kamu mengikutinya, Sophie? Kemudian datanglah Plato. Dia memikirkan apa yang kekal dan abadi di alam dan apa yang kekal dan abadi dalam kaitannya dengan moral dan masyarakat. Bagi Plato, kedua masalah ini sama. Dia berusaha untuk menangkap suatu "realitas" yang kekal dan abadi.
Dan terus terang saja, untuk itulah sesungguhnya kita membutuhkan para filosof. Kita tidak membutuhkan mereka untuk memilih seorang ratu kecantikan atau mengetahui harga tomat sehari-hari. Inilah sebabnya mereka sering tidak populer!) Para filosof akan berusaha untuk mengabaikan masalah-masalah yang sedang menjadi buah bibir dan justru mencoba untuk menarik perhatian orang-orang pada apa yang selalu "benar", selalu "indah", dan selalu "baik".
Dengan demikian, kita setidak-tidaknya dapat mulai me¬ lihat proyek filsafat Plato. Tapi mari kita bahas satu demi satu. Kita tengah berusaha untuk memahami seorang tokoh yang luar biasa, seorang tokoh yang mempunyai pengaruh sangat besar terhadap seluruh filsafat Eropa sesudahnya.
• Dunia Ide
Baik Empedocles maupun Democritus telah menarik perhatian pada fakta bahwa meskipun di alam ini segala sesuatu "mengalir", bagaimanapun pasti ada "sesuatu" yang tidak pernah berubah ("empat akar" atau "atom"). Plato setuju dengan dalil semacam itu—tetapi dengan cara yang sangat berbeda. Plato percaya bahwa segala sesuatu yang nyata di alam ini "mengalir". Maka tidak ada "zat" yang tidak hancur. Jelas bahwa segala sesuatu yang termasuk dalam "dunia material" itu terbuat dari materi yang dapat terkikis oleh waktu, namun segala sesuatu dibuat sesuai dengan "cetakan" atau "bentuk" yang tak kenal waktu, yang kekal dan abadi. Kamu mengerti? Tidak, kamu tidak mengerti.
Mengapa kuda-kuda itu sama? Barangkali kamu beranggapan bahwa mereka tidak sama. Namun, ada sesuatu yang sama-sama dimiliki oleh semua kuda, sesuatu yang memungkinkan kita untuk mengenali mereka sebagai kuda. Seekor kuda tertentu "berubah", dengan sendirinya, la mungkin tua dan lumpuh, dan pada waktunya ia akan mati. Namun, "bentuk" kuda itu kekal dan abadi. Oleh karena itu, sesuatu yang kekal dan abadi, menurut Plato, bukanlah "bahan dasar" benda-benda fisik, sebagaimana diyakini Empedocles dan Democritus. Konsepsi Plato berkaitan dengan pola-pola yang kekal dan abadi, yang bersifat spiritual dan abstrak, yang darinya segala sesuatu diciptakan.
Dengan kata lain, orang-orang pada zaman sebelum Socrates telah memberikan penjelasan yang sangat bagus mengenai perubahan alam tanpa harus mensyaratkan bahwa segala sesuatu itu sungguh-sungguh "berubah". Di tengah siklus alam ada beberapa unsur paling kecil yang kekal dan abadi serta tidak musnah, menurut mereka. Lumayan bagus, Sophie! Tapi mereka tidak mempunyai penjelasan yang masuk akal tentang bagaimana "unsur- unsur yang paling kecil" ini, yang dulu pernah membangun balok-balok dalam sebuah rumah, dapat dengan tiba-tiba berputar bersama empat atau lima ratus tahun kemudian dan membentuk diri mereka menjadi seekor kuda yang sama sekali baru. Atau, seekor gajah atau seekor buaya. Maksud Plato adalah bahwa atom-atom Democritus tidak pernah membentuk diri mereka menjadi seekor "gajah-buaya" atau "buaya-gajah". Inilah yang membuat refleksi-refleksi filosofisnya berkembang.
Jika kamu sudah mengerti apa maksudku, kamu boleh melewatkan paragraf berikut ini. Tapi untuk jaga-jaga saja, aku akan menjelaskan: Kamu mempunyai sekotak Lego dan kamu membuat seekor kuda Lego. Kemudian, kamu memisah-misahkannya lagi dan meletakkan balok-balok itu kembali ke kotaknya. Kamu tidak dapat membuat seekor kuda baru dengan hanya menggoyang-goyangkan kotak itu. Bagaimana mungkin balok-balok Lego dengan kemauan sendiri berkumpul dan menjadi seekor kuda lagi? Tidak, kamu harus menyusun kembali kuda itu. Dan, kamu dapat membuatnya sebab kamu telah mempunyai gambaran dalam benakmu seperti apa kuda itu. Kuda Lego dibuat dari model yang tetap tak berubah dari satu kuda ke kuda lainnya. Bagaimana kamu membuat lima puluh kue yang sama?
Mari kita asumsikan bahwa kamu telah jatuh dari luar angkasa dan belum pernah melihat seorang tukang roti sebelumnya. Kamu menemukan sebuah toko roti yang mengundang selera—dan di situ kamu melihat lima puluh kue jahe berbentuk orang yang sama di atas rak. Aku bayangkan kamu akan bertanya-tanya bagaimana mereka dapat tampak persis sama. Padahal mungkin salah satu dari mereka lengannya patah, yang lain kehilangan sebagian kepalanya, dan yang ketiga mempunyai benjolan lucu di perutnya. Tapi setelah memikirkannya dengan sungguh-sungguh, kamu tetap ber¬ kesimpulan bahwa semua roti jahe berbentuk orang itu mempunyai sesuatu yang sama . Meski tak satu pun dari mereka yang sempurna, kamu pasti beranggapan bahwa mereka mempunyai asal usul yang sama. Kamu akan menyadari bahwa semua kue itu dibentuk dalam cetakan yang sama. Dan yang lebih penting, Sophie, kamu kini terseret oleh keinginan yang sangat kuat untuk melihat cetakan ini.
Sebab sudah jelas, cetakan itu sendiri pasti benar-benar sempurna—dan dalam satu pengertian, lebih indah—jika dibandingkan dengan tiruan-tiruan kasar ini. Jika bisa memecahkan masalah ini sendiri, kamu sampai pada pemecahan filosofis dengan cara persis sama seperti Plato dulu.
Seperti kebanyakan filosof, dia "jatuh dari angkasa luar". (Dia berdiri tepat di ujung salah satu bulu kelinci.) Dia heran melihat bagaimana seluruh fenomena alam dapat begitu serupa, dan dia menyimpulkan bahwa itu pasti karena ada sejumlah terbatas bentuk-bentuk "di balik" segala sesuatu yang kita lihat di sekeliling kita. Plato menyebut bentuk-bentuk ini ide. Di balik setiap kuda, babi, atau manusia, ada "kuda ideal", "babi ideal", dan "manusia ideal". (Dengan cara yang sama, toko roti yang kita bicarakan dapat mempunyai kue jahe orang, kue jahe kuda, dan kue jahe babi. Sebab setiap toko roti terkenal mempunyai lebih dari satu cetakan. Tapi, satu cetakan sudah cukup untuk setiap jenis kue jahe.)
Plato sampai pada kesimpulan bahwa pasti ada realitas di balik "dunia materi". Dia menyebut realitas ini dunia ide; di situ tersimpan "pola-pola" yang kekal dan abadi di balik berbagai fenomena yang kita temui di alam. Pandangan yang luar biasa ini dikenal sebagai teori ide Plato.
• Pengetahuan Sejati
Aku yakin kamu masih menyimak, Sophie sayang. Tapi kamu mungkin bertanya-tanya apakah Plato serius. Apakah dia benar-benar yakin bahwa bentuk-bentuk seperti ini benar- benar ada dalam suatu realitas yang sama sekali berbeda? Barangkali dia tidak memercayainya secara harfiah de¬ ngan cara yang sama sepanjang hidupnya, tapi dalam beberapa dialognya, begitulah yang dimaksudnya. Mari kita coba ikuti jalan pikirannya.
Seorang filosof, sebagaimana telah kita ketahui, berusaha untuk memahami sesuatu yang kekal dan abadi. Tidak akan ada gunanya, misalnya, menulis sebuah risalah fisafat mengenai eksistensi busa sabun tertentu. Sebagian karena orang tidak mungkin punya cukup waktu untuk menelaahnya se¬ cara mendalam sebelum busa itu pecah, dan sebagian karena barangkali agak sulit untuk menemukan pasar bagi risalah filsafat mengenai sesuatu yang tidak pernah dilihat orang, dan yang hanya ada selama lima detik.
Plato percaya bahwa segala sesuatu yang kita lihat di sekeliling kita di alam ini, segala sesuatu yang nyata, dapat disamakan dengan busa sabun, sebab tidak ada sesuatu pun yang abadi di dunia indrawi. Kita tahu, tentu saja, bahwa cepat atau lambat setiap manusia dan setiap binatang akan mati dan membusuk. Bahkan balok marmer akan berubah dan lambat laun hancur. (Acropolis hancur menjadi reruntuhan, Memang patut disayangkan, tapi itulah yang terjadi.)
Maksud Plato adalah bahwa kita tidak pernah dapat memiliki pengetahuan sejati tentang sesuatu yang selalu berubah. Kita hanya dapat mempunyai pendapat tentang benda-benda yang ada di dunia indriawi, benda-benda nyata. Kita hanya dapat mempunyai pengetahuan sejati tentang segala sesuatu yang dapat dipahami akal kita.
Baiklah, aku akan menjelaskannya dengan cara yang lebih gamblang: sebuah kue jahe orang-orangan bentuknya dapat begitu berat sebelah setelah dipanggang sehingga sulit sekali untuk mengenalinya. Tapi setelah melihat berlusin- lusin kue jahe orang-orangan yang berhasil dibentuk dengan baik, aku dapat merasa yakin benar seperti apa cetakan kue itu. Aku dapat menduga, meskipun aku belum pernah melihatnya. Bahkan mungkin tidak ada gunanya melihat cetakan yang sebenarnya dengan mataku sendiri, sebab kita tidak selalu dapat memercayai bukti dari indra-indra kita. Indra penglihatan itu bervariasi dari satu orang ke orang lainnya. Sebaliknya, kita dapat bergantung pada apa yang dikatakan akal kita, sebab itu sama bagi setiap orang.
Kalau kamu duduk di sebuah kelas bersama tiga puluh murid lain, dan guru menanyakan kepada murid-murid warna pelangi apakah yang paling indah, barangkali dia akan mendapatkan banyak jawaban yang berlainan.Tapi jika dia bertanya berapa 8 kali 3, seluruh murid—kita harap akan memberikan jawaban yang sama. Sebab kini, akal yang berbicara dan akal, agaknya, merupakan lawan dari "perkiraan" atau "perasaan".
Kita dapat mengatakan bahwa akal itu kekal dan universal justru karena ia hanya mengungkapkan keadaan-keadaan yang kekal dan universal. Plato menganggap matematika sangat mengasyikkan sebab keadaan matematika tidak pernah berubah. Oleh karena itu, ada keadaan-keadaan yang dapat kita peroleh pengetahuan sejatinya. Tapi di sini kita membutuhkan sebuah contoh.
Bayangkan kamu menemukan sebuah kerucut pohon cemara di hutan. Barangkali kamu mengatakan, kamu "mengira" bentuknya bundar sekali, sedangkan Joanna berkeras bentuknya sedikit datar di satu sisi. (Lalu, kalian mulai berdebat tentang itu!) Tapi kamu tidak mungkin memiliki pe¬ ngetahuan sejati tentang apa saja yang kamu lihat dengan matamu. Sebaliknya kamu dapat mengatakan dengan kepastian mutlak bahwa jumlah sudut dalam suatu lingkaran adalah 360 derajat. Di sini kamu berbicara tentang lingkaran ideal yang mungkin tidak ada di dunia fisik, tetapi dapat kamu gambarkan dengan jelas. (Kamu berhadapan dengan cetakan kue jahe berbentuk orang yang tersembunyi dan bukan dengan kue tertentu di atas meja dapur.) Pendeknya, kita hanya dapat memiliki konsepsi-konsepsi yang tidak tepat mengenai benda-benda yang kita lihat dengan indra kita. Tapi kita dapat memiliki pengetahuan sejati tentang benda-benda yang kita pahami dengan akal kita. Jumlah sudut dalam sebuah segitiga tetap 180 derajat sampai kiamat nanti. Dan, begitu pula kuda 'Ideal" itu akan berjalan di atas empat kaki meskipun jika semua kuda di dunia indra patah sebelah kakinya.
• Jiwa yang Abadi
Seperti yang pernah kujelaskan, Plato percaya bahwa realitas itu terbagi menjadi dua wilayah. Satu wilayah adalah dunia indra , yang mengenainya kita hanya dapat mempunyai pengetahuan yang tidak tepat atau tidak sempurna dengan menggunakan lima indra kita. Di dunia indra ini, "segala sesuatu berubah" dan tidak ada yang permanen. Dalam dunia indra ini tidak ada sesuatu yang selalu ada , yang ada hanyalah segala sesuatu yang datang dan pergi. Wilayah yang lain adalah dunia ide , yang mengenai¬ nya kita dapat memiliki pengetahuan sejati dengan menggunakan akal kita. Dunia ide ini tidak dapat ditangkap dengan indra, tetapi ide (atau bentuk-bentuk) itu kekal dan abadi.
Menurut Plato, manusia adalah makhluk ganda. Kita me¬ miliki tubuh yang "berubah" yang tidak terpisahkan dengan dunia indra, dan tunduk pada takdir yang sama seperti segala sesuatu yang lain di dunia ini—busa sabun, misalnya. Semua yang kita indrai didasarkan pada tubuh kita dan karenanya tidak dapat dipercaya. Namun, kita juga memiliki jiwa yang abadi—dan jiwa inilah dunianya akal. Dan, karena tidak bersifat fisik, jiwa dapat menyelidiki dunia ide.
Plato juga percaya bahwa jiwa telah ada sebelum ia mendiami tubuh, (la berada di atas rak bersama seluruh cetakan kue.) Tapi begitu jiwa bangkit dala m tubuh manusia, ia telah melupakan semua ide yang sempurna. Lalu, sesuatu mulai terjadi. Sesungguhnya, suatu proses yang luar biasa dimulai. Ketika manusia menemukan berbagai bentuk di dunia alamiah ini, suatu ingatan yang samar-samar menggerakkan jiwanya.
Dia melihat seekor kuda—tapi kuda yang tidak sempurna. (Seekor kuda dari kue jahe!) Penglihatan atas kuda itu sudah cukup untuk membangkitkan dalam jiwanya ingatan yang samar-samar tentang "kuda" yang sempurna, yang pernah dilihat jiwa di dunia ide, dan ini menggerakkan jiwa dengan suatu kerinduan untuk kembali ke tempatnya yang sejati. Plato menyebut kerinduan ini eros —yang berarti cinta. Maka, jiwa mengalami "kerinduan untuk kembali pada asal-usulnya yang sejati". Sejak itu, tubuh dan seluruh dunia indra dianggap tidak empurna dan tidak penting. Jiwa rindu untuk terbang pulang dengan sayap-sayap cinta ke dunia ide. la ingin dibebaskan dari belenggu tubuh.
Aku harus buru-buru menekankan bahwa Plato sedang menggambarkan suatu jalan hidup yang ideal, sebab tidak semua manusia membiarkan jiwanya bebas untuk memulai perjalanan ke dunia ide, Kebanyakan orang bergantung pada "bayangan" ide di dunia indra. Mereka melihat seekor kuda—dan kuda yang lain. Namun, mereka tidak pernah mengerti bahwa setiap kuda itu hanyalah tiruan yang buram. (Mereka bergegas ke dapur dan mengenyangkan diri dengan kue-kue jahe tanpa memikirkan sama sekali dari mana kue- kue itu berasal.) Yang dikemukakan Plato adalah jalan sang filosof. Filsafatnya dapat dipahami sebagai suatu gambaran dari praktik filosofis. Jika kamu melihat sebuah bayang-bayang, Sophie, kamu akan mengira bahwa pasti ada sesuatu yang menimbulkan bayang-bayang itu. Kamu melihat bayang-bayang seekor binatang. Kamu kira itu mungkin seekor kuda, tapi kamu tidak begitu yakin. Kamu berbalikdan melihat kuda itu sendiri—yang tentu saja benar-benar lebih indah dan lebih tegas bentuknya daripada "bayang-bayang kuda" yang kabur. Plato juga percaya bahwa semua fenomena alam itu hanyalah bayang-bayang dari bentuk atau ide yang kekal. Tapi kebanyakan orang sudah puas dengan kehidupan di tengah bayang-bayang. Mereka tidak memikirkan apa yang membentuk bayang-bayang itu. Mereka mengira hanya bayang-bayang itulah yang ada, tanpa pernah menyadari bahwa bayang-bayang tersebut, sesungguhnya, hanyalah bayang-bayang. Dan dengan begitu, mereka tidak mengindahkan keabadian jiwa mereka sendiri.
• Keluar dari Gua yang Gelap
Plato mengemukakan suatu mitos yang menggambarkan hal ini. Kita menamakannya Mitos Gua. Aku akan menceritakannya kembali dengan kata-kataku sendiri. Bayangkan bebeapa orang yang tinggal di dalam sebuah gua bawah tanah. Mereka duduk membelakangi mulut gua dengan tangan dan kaki terkekang sedemikian rupa, sehingga mereka hanya dapat memandang dinding belakang gua. Di belakang mereka ada dinding tinggi, dan di belakang dinding itu lewat makhluk-makhluk yang menyerupai manusia, memegang berbagai benda di atas puncak dinding. Karena ada api di belakang benda-benda ini, timbul bayangan yang berkejap-kejap di dinding belakang gua. Maka, satu-satunya yang dapat dilihat para penghuni gua adalah permainan bayang-bayang ini.
Mereka telah berada dalam posisi ini sejak dilahirkan. Maka, mereka mengira hanya bayang-bayang itulah yang ada. Bayangkan sekarang bahwa salah seorang penghuni gua berusaha untuk membebaskan diri dari ikatan-ikatannya. Hal pertama yang ingin diketahuinya adalah dari mana asal semua bayang-bayang ini. Menurutmu apa yang terjadi ketika dia berbalik dan melihat benda-benda yang dipegang di atas dinding? Mula-mula, dia silau karena cahaya yang terang. Dia juga terpesona ketika melihat benda-benda itu dengan jelas sebab sebelumnya dia hanya melihat bayang-bayang mereka. Jika dia berusaha untuk memanjat dinding dan melihat dunia luar, dia akan lebih takjub lagi. Tapi setelah mengusap matanya, dia akan terpesona oleh keindahan dari segala sesuatu. Untuk pertama kalinya, dia akan melihat warna-warna dan bentuk- bentuk yang jelas. Dia akan melihat binatang dan bunga yang sebenarnya, yang bayang-bayangnya di dalam gua hanyalah refleksi yang suram. Bahkan sekarang, dia akan bertanya kepada dirinya sendiri dari mana asal semua binatang dan bunga itu. Lalu, dia akan melihat matahari di langit, dan menyadari bahwa inilah yang memberikan kehidupan pada binatang-binatang dan bunga-bunga tersebut, sebagaimana api mengakibatkan terlihatnya bayang-bayang. Penghuni gua yang kegirangan itu kini dapat pergi ke luar, bahagia dengan kebebasan yang baru saja diperolehnya. Namun sebaliknya, dia memikirkan semua orang lainnya yang masih tertinggal di dalam gua. Dia kembali. Begitu tiba di sana, dia berusaha untuk meyakinkan para penghuni gua bahwa bayang-bayang pada dinding gua itu hanyalah refleksi dari benda-benda "yang sebenarnya". Tapi mereka tidak percaya padanya. Mereka menunjuk ke dinding gua dan mengatakan bahwa yang mereka lihat itulah yang se¬ sungguhnya. Akhirnya, mereka membunuhnya. Yang diceritakan Plato dalam Mitos Gua adalah jalan ditempuh filosof untuk keluar dari bayang-bayang menuju gagasan sejati di balik semua fenomena alam. Dia mungkin juga terkenang akan Socrates, yang dibunuh oleh "para penghuni gua", sebab dia menggoyahkan gagasan konvensional mereka dan berusaha untuk menerangi jalan menuju wawasan sejati. Mitos Gua menggambarkan keberanian Socrates dan rasa tanggung jawabnya untuk mendidik sesama. Yang dimaksudkan Plato adalah bahwa hubungan antara kegelapan gua dan dunia di luar berkaitan dengan hubungan antara bentuk-bentuk di dunia alamiah dan dunia ide. Bukan berarti bahwa dunia alamiah itu memang gelap dan suram, tapi dunia itu gelap dan suram jika dibandingkan dengan dunia ide yang terang. Lukisan pemandangan yang indah juga tidak gelap dan suram. Namun, itu hanyalah lukisan.
• Negara Filosofis
Mitos Gua terdapat dalam dialog Plato, Republic. Dalam dialog ini, Plato juga memberikan gambaran tentang "negara ideal", yaitu suatu negara bayangan dan ideal, atau yang kita namakan negara Utopis. Pendeknya, dapat kita katakan bahwa Plato percaya, negara hendaknya diperintah oleh para filosof. Dia mendasarkan penjelasannya ini pada susunan tubuh manusia. Menurut Plato, tubuh manusia terdiri dari tiga bagian: kepala, dada, dan perut. Untuk setiap bagian ini ada bagian jiwa yang terkait. Akal terletak di kepala, kehendak terletak di dada, dan nafsu terletak di perut. Masing-masing dari bagian jiwa ini juga memiliki cita-cita, atau "kebajikan". Akal mencita-citakan kebijaksanaan, Kehendak mencita-citakan keberanian , dan Nafsu harus dikekang sehingga kesopanan dapat ditegakkan. Hanya jika ketiga bagian itu berfungsi bersama sebagai suatu kesatuan sajalah, kita dapat menjadi seorang individu yang selaras atau "berbudi luhur". Di sekolah, seorang anak pertama-tama harus belajar untuk mengendalikan nafsu mereka, lalu ia harus mengembangkan keberanian, dan akhirnya akal akan menuntunnya menuju kebijaksanaan. Plato membayangkan sebuah negara yang dibangun dengan cara persis seperti tubuh manusia yang terdiri dari tiga bagian itu. Jika tubuh mempunyai kepala, dada, dan perut, negara mempunyai pemimpin , pembantu , dan pekerja (para petani, misalnya). Di sini Plato secara jelas menggunakan ilmu pengobatan Yunani sebagai model. Sebagaimana manusia yang sehat dan selaras mempertahankan keseimbangan dan kesederhanaan, begitu pula negara yang "baik" ditandai dengan adanya kesadaran setiap orang akan tempat mereka alam keseluruhan gambar itu. Seperti setiap aspek dari filsafat Plato, filsafat politiknya ditandai dengan rasionalisme. Terciptanya negara yang baik bergantung pada apakah negara itu diperintah oleh akal. Sebagaimana kepala mengatur tubuh, maka para filosoflah yang harus mengatur masyarakat.
Mari kita coba membuat ilustrasi mengenai hubungan antara ketiga bagian tubuh manusia dan negara:
Tubuh Jiwa Sifat Negara
Kepala Akal Kebijaksanaan Pemimpin
Dada Kehendak Keberanian Pelengkap
Perut Nafsu Kesopanan dikekang Pekerja
Negara ideal Plato bukannya tidak sama dengan sistem kasta Hindu, yang di dalamnya masing-masing orang mempunyai fungsi sendiri-sendiri demi kebaikan seluruh negara. Bahkan sebelum masa hidup Plato, sistem kasta Hindu mempunyai tiga pembagian antara kasta pembantu (atau kasta pendeta), kasta kesatria, dan kasta pekerja. Kini mungkin kita akan menyebut negara Plato itu totaliter. Tapi perlu dicatat bahwa dia percaya kaum wanita bisa memerintah sama efektifnya dengan kaum pria karena alasan sederhana, yaitu bahwa para pemimpin mengatur negara berdasarkan akal mereka. Kaum wanita, dia menegaskan, mempunyai kemampuan penalaran yang persis sama dengan kaum pria, asalkan mereka mendapatkan pelatihan yang sama dan dibebaskan dari kewajiban membesarkan anak dan mengurusi rumah tangga. Dalam negara ideal Plato, para pemimpin dan kesatria tidak diperbolehkan menjalani kehidupan keluarga atau memiliki kekayaan pribadi. Pendidikan anak dianggap terlalu penting untuk diserahkan pada individu, sehingga tanggung jawab itu harus diserahkan pada negara. (Plato adalah filosof pertama yang mendukung sekolah anak-anak yang diorganisasi oleh negara dan pendidikan full-time.)
Setelah terjadi sejumlah kemunduran politik penting, Plato menulis kitab Hukum , di dalamnya dia menggambarkan "negara konstitusional" sebagai negara terbaik kedua. Dia kembali membicarakan kekayaan pribadi dan ikatan keluarga. Kebebasan kaum wanita menjadi lebih dibatasi. Namun, dia mengatakan bahwa sebuah negara yang tidak mendidik dan melatih kaum wanita itu seperti orang yang hanya melatih tangan kanannya. Akhirnya, dapat kita katakan bahwa Plato mempunyai pandangan positif tentang kaum wanita—mengingat zaman dia hidup. Dalam dialog Symposium, dia memberikan kepada seorang wanita, pendeta wanita yang legendaris, Diotima, kehormatan karena telah memberikan wawasan filsafat kepada Socrates.
Comments
Post a Comment